Tak Jadi Capres, Cawapres pun Oke?
Senin, 15 November 2021 10:39 WIBSebagian politisi yang kurang beruntung dalam survei tampaknya kurang menonjol karakter kepemimpinannya. Masyarakat tidak melihat sesuatu yang unik pada diri politisi itu. Kepemimpinan mereka tanpa greget. Apakah bagi calon-calon yang kurang populer itu rela menjadi cawapres asalkan tetap bisa berdiam di Istana? Tak ada rotan, akarpun jadi?
Koran Tempo edisi Sabtu, 13 November 2021, menurunkan berita utama tentang kabar bahwa Ketua Umum Airlangga Hartarto mencari pendamping. Dia melirik Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, walaupun ada elite Golkar yang membantah kabar tersebut. Betapapun begitu, mesin partai Golkar rupanya bekerja semakin panas, dan ini yang membuat elite partai lain menyindir menteri Golkar agar fokus bekerja, bukan sibuk mempersiapkan diri untuk pencapresan.
Menjadi capres memang tidak cukup mengandalkan dukungan internal partai, walaupun ini merupakan keuntungan luar biasa sebagai modal awal. Soliditas internal partai akan menjadi faktor pendorong mesin partai untuk bekerja lebih giat dan kompak. Kolaborasi dengan figur dan partai lain jelas diperlukan. Hanya saja, sejauh ini baru ada penjajagan-penjajagan. Terlalu dini rasanya untuk menyebut nama.
Dukungan internal memang tidak cukup. Ibarat produk perusahaan, biarpun menurut para manajer dan direksi produk itu dinilai oke, pada akhirnya pasarlah yang menentukan akan melirik dan membeli produk itu atau tidak. Pemasaran jadi faktor penting untuk mempromosikan produk dan merayu calon konsumen untuk mau membeli, bahkan kalau bisa menjadi konsumen berkelanjutan alias pelanggan.
Begitu pula dalam politik. Ada politisi-politisi yang terlihat berminat untuk maju ke gelanggang pilpres 2024, tapi popularitasnya dalam berbagai survei masih saja berada di barisan bawah. Upaya mendongkrak popularitas belum cukup membuahkan hasil yang menggembirakan. Mengapa daya tarik mereka begitu kurang di hadapan pemilik suara?
Masih ada waktu memang untuk memperbaiki segenap perangkat pendukung, termasuk pemasaran tadi. Ada politisi yang menyindir politisi lain karena gemar bermain medsos, itu menandakan bahwa ia tidak memahami betapa ampuh medsos untuk memasarkan diri. Bahkan, seandainya pun politisi lain itu dianggap kurang bekerja sungguh-sungguh sebagai pejabat publik, tapi citranya bisa meningkat gegara bermain medsos. Bukankah banyak politisi yang memoles citra agar tampak lebih gemerlap daripada aslinya dan itu sudah dianggap lazim di jagat politik?
Pemasaran memang masih bisa diperbaiki karena masih ada waktu untuk melakukannya. Tapi, persoalan mendasarnya boleh jadi bukan itu, melainkan pada karakter kepemimpinan. Sebagian politisi yang kurang beruntung dalam survei tampaknya kurang menonjol karakter kepemimpinannya, sehingga masyarakat tidak melihat sesuatu yang unik pada diri politisi itu. Katakanlah, kepemimpinan mereka tanpa greget sehingga kurang meyakinkan masyarakat.
Rakyat semakin belajar tentang karakter kepemimpinan dan mudah-mudahan rakyat tidak dikecewakan oleh karena tidak ada calon presiden yang karakter kepemimpinannya kuat demi rakyat. Persoalan kualitas kepemimpinan ini bisa muncul apabila calon-calon potensial yang berkarakter akan terhalang lebih awal, bahkan sebelum kompetisi pilpres dimulai. Rintangan itu bisa muncul dari aturan presidential threshold, yang menghalangi majunya figur-figur yang dianggap oleh elite sekarang dapat mengganggu kepentingan mereka.
Jadi, apakah bagi calon-calon yang kini kurang populer itu, menjadi cawapres akan menjadi jalan keluar asalkan tetap bisa berdiam di Istana? Tak ada rotan, akarpun jadi? >>
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Hasil Survei Pilpres yang Ngeri-ngeri Sedap
Jumat, 29 Desember 2023 14:00 WIBDebat tentang Etika, Elite Politik Saling Mempermalukan
Kamis, 21 Desember 2023 12:31 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler